Pengertian Perilaku Birokrasi Menurut Para Ahli

Pengertian Perilaku Birokrasi 
1. Pengertian Perilaku
Banyak ahli yang memberikan batasan mengenai perilaku. namun demikian, perilaku manusia pada dasarnya terbentuk setelah melewati keseluruhan dari aktivitas. Pendapat yang dikemukakan oleh Hersey dalam bukunya yang berjudul Perilaku Organisasi(1996:15), sebagai berikut: 

“Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Artinya, perilaku orang pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, tetapi tujuan tersebut tidak selamanya diketahui secara sadar oleh individu yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada pada alam sadar mereka”.

Pendapat lain dari Ndraha dalam bukunya Budaya Organisasi(1997:33), sebagai berikut :
“Perilaku adalah operasionalisasi dan Aktualisasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap suatu (situasi dan kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi, atau, organisasi), sementara sikap adalah operasionalisasi dan aktualisasi pendirian”. 

Dalam bukunya yang berjudul Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia (1989:70), Ndraha mengemukakan pendapatnya tentang perilaku birokrasi sebagai berikut:
“Perilaku birokrasi merupakan interaksi antara individu dalam organisasi lingkungannya, karena perilaku birokrasi ditentukan oleh fungsi individu dalam lingkungan organisasi. Struktur organisasi pemerintah diwarnai oleh karakteristik, kapabilitas dan kapasitas individu atau aparat selaku abdi Negara atau pemerintah dan pelayan masyarakat yang secara hierarki sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.

Satuan utama perilaku adalah aktivitas, artinya semua perilaku merupakan serangkaian aktivitas. Hal ini seperti yang dikemukakan Ndraha dalam bukunya yang berjudul Konsep Administrasi dan Administrasi di Indonesia (1989:63), sebagai berikut : “Perilaku yang rasional disebut aktivitas, dan aktivitas mempengaruhi, baik produktivitas maupun kualitas hidup manusia yang bersangkutan”. Aktivitas pegawai inilah yang menjadi kajian perilaku birokrasi dalam penelitian ini.

Menurut Davis, dalam bukunya yang sama Perilaku Organisasi(1996:5) “perilaku organisasi adalah telaah dan penerapan tentang bagaimana orang-orang bertindak di dalam organisasi”. Perilaku organisasi adalah sarana manusia bagi keuntungan manusia. Perilaku organisasi dapat diterapkan secara luas dalam perilaku orang-orang disemua jenis organisasi, seperti bisnis, pemerintahan, kemasyarakatan, sekolah dan organisai jasa lainnya. Apapun organisasi itu, ada kebutuhan untuk memenuhi perilaku manusia, karenanya perilaku manusia dalam organisasi agaknya tidak dapat diduga karena timbul dari kebutuhan dan sistem nilai yang terkandung dalam diri manusia.

Lebih lanjut, Ndraha dalam bukunya yang bejudul Budaya Organisasi(1997:34), sebagai berikut: 
“Studi tentang perilaku organisasi bermaksud mengidentifikasi cara pembentukan perilaku berorganisasi (organization behavior), yaitu perilaku yang berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajiban, kebebasan dan kewenangan dan tanggung jawab, baik pribadi maupun kelompok”.

Dengan demikian, pada prinsipnya perilaku manusia tampak dalam berbagai dimensi. Jika aktivitasnya secara individu maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku individu. Sebaliknya, jika seseorang tampil dan berada dalam kelompok maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku kelompok. Jika seseorang hidup dalam lingkungan sosial kemasyarakatan, maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku sosial. Jika seseorang adalah anggota organisasi, maka perilaku yang diperagakan adalah perilaku organisasi. Perilaku adalah fase peragaan terakhir atau akibat dari suatu siklus aktivitas pemenuhan kebutuhan, kepentingan, motivasi dan sikap tertentu.

2. Pengertian Birokrasi
Berdasarkan etimologinya, kata birokrasi berasal dari kata bureau yang berarti kantor atau meja, krasi yang berasal dari kata kratia yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, menurut kartasapoetra dalam bukunya yang berjudul Debirokrasi dan Deregulasi (1989:2), sebagai berikut: 

“Birokrasi adalah pelaksanaan perintah pemerintah secara organisatoris yang harus dilaksanakan sedemikian rupa dan secara sepenuhnya pada pelaksanaan pemerintah melalui instansi-instansi atau kantor-kantor”.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, seperti yang dikutip oleh Sujamto, dalam bukunya yangberjudul Otonomi, Birokrasi, Partisipasi (1991:16), birokrasi diberi arti sebagai: 
  1. Sistem Pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintahan karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan;
  2. Cara bekerja atau susunan pekerjaaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang liku-likunya dan sebagainya.” 
Sementara Lance Castles Dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintahan Orde Baru (1993:20), mengemukakan uraian tentang birokrasi sebagai berikut: “Birokrasi saya maksudkan sebagai orang-orang bergaji yang menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja di dalamnya termasuk para pejabat tentara dan birokrasi militer”.

Dalam pengertian netral, birokrasi menurut Santoso Dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintahan Orde Baru (1993:14), sebagai berikut:
“keseluruhan pejabat-pejabat negara di bawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif, atau birokrasi juga bisa diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (every big organization is bureaucracy)”.

Sedangkan La Palombara dalam bukunya yang berjudul Profil Budaya Politik Indonesia(1991:229), memberikan arti birokrasi dalam pengertian birokrat sebagai berikut:
“Birokrat yang paling penting bagi kita adalah mereka yang umumnya melaksanakan peran manajerial, yang memerintah baik di badan-badan sentral maupun di bidang masing-masing, dideskripsikan dalam bahasa administrasi Negara sebagai manajemen tingkat menengah atau atas”.

Birokrasi dalam berbagai literatur ilmu, sering dipergunakan dalam beberapa pengertian. Sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian yang sering terkandung dalam istilah birokrasi. Menurut Benveniste dalam bukunya yang berjudul bureaucracy (1997:4), sebagai berikut:
  1. Organisasi rasional (rational organization), 
  2. Ketidakefesienan organisasi (organizational ineffciency), 
  3. pemerintahan oleh pejabat negara (rule by official), 
  4. Administrasi negara (public administration), 
  5. Administrasi oleh pejabat (administration of official), 
  6. Bentuk organisasi dengan ciri dan kualitas tertentu seperti hierarki serta peraturan-peraturan dan 
  7. Salah satu ciri masyarakat modern yang mutlak (en essential quality of modern sciety)”.
Birokrasi sebagai suatu bentuk organisasi dengan ciri-ciri yang khusus, menjadi pusat perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa Max Weber. Dalam karyanya ”The Theory of Economic and Social Organization”, Weber mengemukakan konsepnya tentang ‘the ideal type of bureaucracy’ dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. Hal ini lebih lanjut dirangkum oleh Benveniste dalam empat ciri utama dalam bukunya Bureaucracy(1997:4), yaitu:
  1. Adanya suatu struktur hierarki yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegations of authority from the top to yhe bttom of an organization);
  2. Adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memilki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilities);
  3. Adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi-organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regelations and standars governingoperations of organization and behavior of its members):
  4. Adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang diperkerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan kualifikasi dan penampilan (technically qualified personel employed on a career basis, with promotion based on qualificatuions and performance).
3. Perilaku Birokrasi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi.
Menurut Thoha dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi (1995:138), perilaku birokrasi adalah: “pada hakekatnya merupakan hasil interaksi birokrasi sebagai kumpulan individu dengan lingkungannya”. Perilaku birokrasi yang menyimpang lebih tepat dipandang sebagai “patologi birokrasi” atau gejala penyimpangan birokrasi (dysfunction of bureaucracy). Kesulitan yang timbul bahwa secara teoritis tidaklah mudah membedakan dan menetapkan batas antara “perilaku” yang telah membudaya dengan perilaku menyimpang yang berulang-ulang atau berlangsung dalam waktu cukup lama.

Memang terdapat beberapa kekurangan/penyimpangan yang terjadi dalam birokrasi kita. Hal inilah yang menyebabkan citra birokrasi di mata masyarakat manjadi kurang baik. Siagian dalam bukunya yang berjudul Patologi Birokrasi(1994:98), sebagai berikut:
“Ada beberapa prinsip perilaku birokrasi yang mampu memperbaiki citra birokrasi di mata masyarakat: 
  1. Kesopanan: suatu perilaku yang berorientasi bukan pada kekuasaan atau rasa superior, tetapi bertindak sebagai abdi negara.
  2. Keadilan: suatu perilaku yang tidak membeda-bedakan siapa yang sedang dihadapi.
  3. Kepedulian: perilaku yang menampakan bahwa aparat peduli apa yang sedang dibutuhkan masyarakat yang akan datang.
  4. Kedisiplianan: perilaku yang sesuai dengan peraturan yang dijalankan dengan tegas dan ketat.
  5. Kepekaan: perilaku yang peka terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
  6. Tanggung jawab: perilaku yang berkaitan erat dalam melaksanakan tugas sebagai implementasi dari pengabdian”.
Dalam kaitanya dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tangung jawab sosial. Perilaku manusia dalam organsasi sangat menentukan pencapaian hasil yang maksimal dalam rangka unutk mencapai tujuan organisasi.

Dalam bukunya yang berjudul Perspektif Perilaku Birokrasi(1995:29), Thoha menjelaskan bahwa: “perilaku manusia adalah fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkunganya”. Perilaku seorang individu terbentuk melalui proses interaksi antara individu itu sendiri dengan lingkungannya. Setiap individu mempunyai karakteristik tersendiri, dan karakteristik tersebut akan dibawanya ketika ia memasuki lingkungan tertentu. Karakteristik ini berupa kemampuan, kepercayaan pribadi, kebutuhan, pengalaman dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan organisasi sebagai lingkungan bagi individu mempunyai karakteristik tertentu, yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hierarki, pekerjaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem imbalan dan sistem pengendalian. Jika karakteristik individu (aparat) dan karakteristik organisasi (birokrasi) berinteraksi, maka terbentuklah perilaku individu (aparat) dalam organisasi (birokrasi).

4. Perilaku Birokrasi di Indonesia
Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Seperti yang diungkapkan Santoso dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural(1997:143), sebagai berikut: 

“Bahwa sosok birokrasi di Indonesia masih menampilkan corak patrimonial, adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Model birokrasi kerajaan dan warisan model kolonial cenderung persistent sampai sekarang ini, seperti word view birokrat yang seringkali memanifestasikan warisan budaya aristokratis, orientasi vertical (ke atas) yang lebih mendominasi referensi birokrat, loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi, kesadaran prestise dan status yang masih kuat, budaya panutan yang sering membayangi partisipasi, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat, dan sebagainya”.

Perilaku seperti itulah yang kemudian mengantarkan birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Seperti halnya Santoso, Dwiyanto dalam bukunya yang berjudul Repormasi Birokrasi Publik di Indonesia(2002:9), menganggap hal ini berkaitan erat dengan proses kesejarahan birokrasi di Indonesia, bahwa: 

“Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah”.

Pendapat keduanya juga disepakati oleh Emmerson dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural (1997:3), yang beranggapan birokrasi dewasa ini belum dapat sama sekali melepaskan dari akar historisnya, yaitu: 

“The origin of Indonesia’s modern administrative elite can be traced back, past the colonial era, to the retinues of Javanese royalte; although its earlier aristocratic and Javanese image has been democratized to accord with bthe nation a civil service working in the public interest, the old legacy remain”(“asal muasal elit administrasi Indonesia modern dapat ditelusuri kebelakang, lewat zaman kolonial berlanjut kedinasti keluarga raja-raja Jawa; walaupun pada awalnya kesan aristokratik Jawa telah mengalami nasionalisme dan demokratisasi sejalan dengan gagasan pegawai sipil yang melayani kepentingan publik, sisa-sisa peninggalan masa lampau tetap berlanjut”).

Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran atau perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah.

Karakteristik birokrasi di Indonesia mengantarkan perilaku birokrasi pemerintahan yang sangat dipengaruhi oleh budaya patrimonialisme dan patron-client, yang menguasai hubungan-hubungan antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan komponen lain. Dalam konteks kontemporer Syukur dalam bukunya Budaya Birokrasi di Indonesia, memandang bahwa:

“Birokrasi pada masa Orde Baru menampilkan neo-patrimonialisme, yaitu sebuah rezim modern yang berbasiskan kewibawaan tradisional. Dalam rezim ini pemimpin eksekutif mempertahankan otoritas lewat ideologi dan hukum. Ia ditandai dengan pertukaran loyalitas aparatur birokrasi dengan imbalan material dari pengusaha, dan fenomena demikianlah sampai saat ini masih merambah politik formal dan sistem administrasi pemerintahan. Hal ini merupakan menifestasi dari hubungan patron-client dalam wujudnya yang lebih modern”. 

Jadi konsep neo-patrimonialisme memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi, tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola perilaku.

Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya perilaku negatif seperti korupsi, dengan adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Seperti yang diungkapkan oleh Mas’oed dalam buku yang berjudul Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia(2002:30), yaitu:

“Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Secara struktural, perilaku negatif juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi pemerintah dalam penguasaan sebagian besar informasi kebijakan dan pengaturan kegiatan ekonomi”

Substansi dari persoalan perilaku birokrasi yang korup pada dasarnya merupakan bagian dari bentuk feodalisme yang terus dipelihara oleh sistem birokrasi. Hal ini menciptakan kehidupan birokrasi yang kental dengan upaya kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi. Apalagi dominasi negara mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat, yang kemudian menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik.

Pendapat Mas’oed tersebut dalam teori Crouch disebut sebagai bentuk bureaucratic polity(2001:119-120), yang ciri-cirnya sebagai berikut:
“Pertama, lembaga politik yang dominant adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi. Ketiga massa diluar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi”

Analisis ini menjelaskan, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat institusi birokrasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Dan Jenis Variasi Bahasa Menurut Ahli

Pengertian Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Menurut Ahli

Pengertian Media Video Pembelajaran Menurut Para Ahli