Pengertian Dan Tujuan Pola Pendidikan Menurut Ahli

Pengertian Pola Pendidikan 
Pada tataran konsep, asumsi berhasil atau tidaknya pendidikan Islam anak dalam satu kesatuan individu untuk satu komunitas pada wilayah tertentu perlu disadari juga turut bergantung pada kemampuan orang tua/ustad/guru/tokoh masyarakat secara khusus atau semua individu yang turut memberikan interaksi, bimbingan atau didikan bermuatan pendidikan Islam pada anak. Kemampuan tersebut antara lain kemampuan orang tua/ustad/guru/tokoh masyarakat dalam memilih pola pendidikan Islam di lingkungan keluarga dan masyarakat bagi anak. Sedangkan pola sendiri dimaknai sebagai “sistem cara kerja”[1].

Dengan demikian pola pendidikan Islam merupakan suatu cara yang ditempuh oleh orang tua/ustad/guru/tokoh masyarakat dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawabnya terhadap anak. Cara mendidik dalam keluarga dan masyarakat yang baik, diharapkan dapat menumbuh-kembangkan kepribadian anak menjadi kepribadian yang kuat dan memiliki sikap positif serta intelektual yang berkualitas.“Cara mendidik anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat identik dibentuk dengan pola pendidikan otokratik, demokratis dan permisif”[2]. Lebih lanjut dideskripsikan sebagai berikut:

1) Pola pendidikan Otoriter.
Pola pendidikan otoriter merupakan salah satu pola pendidikan yang paling banyak dikenal hal ini dikarena tergolong pola yang paling tua, “pola ini ditandai dengan cara mendidik anak melalui aturan-aturan yang ketat, pemaksaan kehendak pada anak”[3], karakter pola pendidikan seperti ini cenderung mencerminkan pola interaksi orang tua, tokoh masyarakat atau orang dewasa yang berupaya memberikan pendidikan kepada anak memiliki presentase interaksi berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan anak dengan memakai model aturan-aturan yang ketat, bahkan cenderung pemaksaan kehendak pada anak, dan orang tua tokoh masyarakat atau orang dewasa menganggap semua sikap dan perbuatannya pada anak sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak, meskipun anak kadang kala memandang dirinya seolah terproteksi sebagai individu yang telah dewasa yang sepatutnya memperoleh hak-hak pendidikan yang layak sebagaimana hakikat pendidikan yang memahami hak dan posisi antara pendidik dan peserta didik.

Dalam prakteknya pola pendidikan otoriter, hukuman biasanya dipergunakan dengan presentase yang kerap tinggi sebagai sebuah alternatif sarana dalam proses pendidikan, sehingga anak melaksanakan perintah atau tugas dari orang tua tokoh masyarakat atau orang dewasa atas dasar takut atau perasaan tidak nyaman memperoleh hukuman dari orang tuanya. Perilaku orang tua tokoh masyarakat atau orang dewasa yang mencerminkan pola pendidikan otoriter antara lain dicerminkan dengan adanya unsur-unsur berikut:
  • Anak harus mematuhi peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.
  • Orang tua cenderung mencari kesalahan anak dan kemudian menghukumnya.
  • Perbedaan pendapat pada anak, dianggap sebagai perlawanan dan pembangkangan pada orang tua.
  • Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan terhadap anak, serta cenderung memaksakan disiplin pada anak tanpa memandang situasi dan kondisi,
  • Orang tua cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana perintah (orang tua sangat berkuasa). [4].
Pola pendidikan otoriter apabila diterapkan pada anak dengan intensitas monoton tentunya hal ini memberikan dampak tersendiri bagi orang tua/orang dewasa selaku pendidik, bahkan lebih jauh dari itu anak selaku individu yang dididik kadang kala mendapatkan nilai-nilai pendidikan yang kurang efektif, artinya pola pendidikan seperti ini apabila diterapkan tanpa adanya kreativitas kolaborasi dengan pola pendidikan yang lebih ideal berdasarkan kebutuhan dan karakter perkembangan anak selaku individu yang diberikan bimbimngan atau pendidikan tidak munutup kemungkinan ditemuinya perilaku yang kurang baik dari anak sebagai reaksi pola pendidikan tersebut, senada dengan apa yang telah dikemukakan Tambayong Prasetya akibat-akibat negatif dalam pola pendidikan otoriter diseskripsikan sebagai berikut:
  • Anak pasif dan kurang berinisiatif.
  • Anak tertekan dan merasa ketakutan, kurang pendirian dan mudah dipengaruhi
  • Anak ragu-ragu, bahkan tidak berani mengambil keputusan dalam hal apa pun, karena dia tidak terbiasa mengambil keputusan sendiri.
  • Di luar lingkungan rumah, anak menjadi agresif, karena anak merasa bebas dari tekanan orang tua.
  • Pelaksanaan perintah dari orang tua oleh anaknya, atas dasar takut pada hukuman.
  • Anak suka menyendiri dan mengalami kemunduran kematangannya.[5]
2. Pola Pendidikan Demokrasi
Pola pendidikan demokrasi adalah “suatu cara mendidik yang aktif, dinamis dan terarah yang berusaha mengembangkan setiap bakat yang dimiliki anak untuk kemajuan perkembangannya”[6]. Pola ini menempatkan anak selaku individu sebagai faktor utama dan terpenting dalam pendidikan. Hubungan antara orang tua atau orang yang telah dewasa selaku pendidik dan anak dalam proses pendidikan diwujudkan dalam bentuk human relationship yang didasari oleh prinsip saling menghargai dan saling menghormati. 

Hak orang tua atau orang yang telah dewasa selaku pendidik hanya memberi tawaran dan pertimbangan dengan segala alasan dan argumentasinya, selebihnya anak sendiri yang memilih alternatif dan menentukan sikapnya yang dianggap lebih tepat berdasarkan norma dan koridor yang ada. Proses pendidikan dilaksanakan untuk menumbuhkembangkan sikap dan potensi/bakat bawaan yang ada pada anak. Di lingkungan pendidikan keluarga dan masyarakat, pola demokrasi merupakan bentuk yang paling serasi karena memungkinkan anak selaku individu dapat belajar secara aktif dalam mengembangkan dan memajukan potensi bawaannya, serta anak dapat kreatif dan inovatif. Dengan pola ini, setiap kemajuan belajar anak dapat dijadikan sebagai pencerminan dari inisiatif dan kreatifitas anak.

Dalam al-Qur`an pola berpikir dan bertindak telah disebutkan bahwa manusia dianjurkan untuk berkata secara lemah lembut, pemaaf dan memohonkan ampun serta bermusyawarah dalam setiap urusan. 

Dalam penanaman aqidah Islam pada anak, orang tua atau orang dewasa selaku pendidik tidak harus mutlak menyajikan pola pendidikan yang diharapkan dengan ini tertanam nilai-nilai aqidah secara demokratis, artinya pola pendidikan lebih fleksibel disesuaikan dengan pola kebutuhan dan perkembangan individu apalagi ketika anak masih kecil, Tetapi makna pendidikan demokratis menjadi aspek didalamnya. 

Adapun akibat bagi pembentukan pribadi anak dengan pola tersebut kembali Zahara Idris dan H. Lisma Jamal menjelaskan antara lain “Anak menjadi kreatif dan mempunyai daya cipta (mudah berinisiatif), anak patuh dengan sewajarnya, anak mudah menyesuaikan diri dan percaya pada diri sendiri, serta bertanggung jawab dan berani mengambil keputusan”.[7] Selain itu, anak juga aktif dalam hidupnya, fleksibel dan emosinya lebih stabil.

Dari konsep pendidikan demokratis seyogyanya orang tua atau orang dewasa selaku pendidik tidak mengharuskan pola tingkah dan pikir sebagai bentuk kreativitas anak didik ditolerir, artinya ada batas-batas tertentu. Hal-hal tersebut bisa ditolerir dan tidak, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Abdul Aziz el-Qussy, tidak semua perbuatan anak ditolerir oleh orang tua, dalam hal-hal tertentu orang tua perlu ikut campur terhadap anaknya, misalnya :
  • Dalam keadaan yang membahayakan hidup atau keselamatannya,
  • Dalam hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang lahir, dan
  • Dalam permainan yang menyenangkan bagi anak tetapi menyebabkan suasana yang mengganggu ketenangan umum”[8].
3. Pola pendidikan Permisif (Laissez Faire)
Pola pendidikan permisif diartikan sebagai “cara mendidik dengan membiarkan anak berbuat sekehendaknya, jadi orang tua tidak memberi pimpinan, nasehat maupun teguran terhadap anaknya”[9]. Orang tua atau orang dewasa selaku pendidik tidak mempedulikan perkembangan psikis anak tetapi memprioritaskan kepentingan dirinya, dan anak diabaikan serta dibiarkan berkembang dengan sendirinya.

Pola pendidikan Permisif (Laissez Faire) terlihat pada Orang tua atau orang dewasa selaku pendidik yang membiarkan anak berbuat sesuka hati dengan sedikit tekanan, sehingga menciptakan suatu pola interaksi rumah tangga dan masyarakat yang terpusat pada anak. Orang tua dalam keluarga hanyalah sebagai orang tua yang tidak memiliki kewajiban atau tanggung jawab mendidik anaknya.

Pola pendidikan ini ditandai dengan pemberian kebebasan tanpa batas pada anak, anak berbuat menurut kemauannya sendiri, tidak terarah dan tidak teratur sehingga keluarga dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan informal nihil untuk memiliki fungsi edukatif. Cara mendidik ini tidak tepat bila dilaksanakan secara murni di lingkungan lembaga pendidikan keluarga dan masyaraakt karena dapat mengakibatkan anak berkepribadian buruk.

Bentuk prilaku orang tua atau orang dewasa selaku pendidik yang permisif, antara lain membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor (mengawasi) dan membimbingnya, mendidik anak secara acuh tak acuh, bersifat pasif atau bersifat masa bodoh, dan orang tua atau orang dewasa selaku pendidik hanya mengutamakan pemberian materi semata bagi anaknya.

Dampak negatif bagi pembentukan pribadi anak, antara lain :
Anak merasa kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya
a) Anak sering mogok bicara dan tidak mau belajar, serta bertingkah laku menentang.
b) Anak mudah berontak dan keras kepala.
c) Anak kurang memperhatikan kedisiplinan, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun dalam pergaulan di masyarakat.
d) Anak kesulitan dalam menyesuaikan diri, emosi kurang stabil dan memiliki sifat selalu curiga,[10]. 

2. Materi Pendidikan Islam Anak
Yang termasuk dalam isi/materi pendidikan ialah “segala sesuatu yang oleh pendidik langsung diberikan kepada peserta didik dan diharapkan untuk dikuasai peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan”[11]. Dalam hal ini materi pendidikan anak meliputi aqidah , syari’ah dan akhlak. Lebih lanjut dideskripsikan sebagai berikut:

1). Aqidah 
Secara etimologis, aqidah berarti “ikatan, sangkutan”. Dalam pengertian teknis “makna aqidah adalah iman atau keyakinan. Aqidah pada umumnya ditautkan dengan rukun iman yang merupakan asas seluruh ajaran Islam”[12]. Aqidah /iman merupakan keyakinan akan adanya Allah dan para Rasul yang diutus dan dipilihnya untuk menyampaikan risalah-Nya kepada umat melalui malaikat yang dituangkan dalam kitab-kitab suci-Nya yang berisikan informasi tentang adanya hari kiamat dan adanya suatu kehidupan sesudah mati, serta informasi tentang segala sesuatu yang telah direncanakan dan ditentukan Allah. Dipertegas lebih lanjut “Aqidah merupakan komponen pokok dalam agama Islam yang di atasnya berdiri syari’at dan akhlak Islam”[13]. Pembentukan iman seharusnya mulai sejak dalam kandungan, sejalan dengan pertumbuhan kepribadian.

Berbagai hasil pengamatan pakar kejiwaan menunjukkan bahwa janin yang dalam kandungan telah mendapat pengaruh dari keadaan sikap dan emosi ibu yang mengandungnya. Hal tersebut terbukti dalam perawatan kejiwaan bahwa ketika si anak dalam kandungan keadaan keluarga mempunyai pengaruh terhadap kesehatan mental si janin di kemudian hari.

Setelah si anak lahir, pertumbuhan jasmani anak berjalan cepat dan perkembangan aqidah, kecerdasan, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan kemasyarakatan anak. Si anak mulai mendapat bahan/ unsur-unsur pendidikan serta pembinaan yang berlangsung tanpa disadari oleh orang tuanya. Mata si anak melihat dan merekam apa saja yang tampak olehnya dan rekaman tersebut tinggal lama dalam ingatannya.

Kemudian setelah anak masuk sekolah, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, orang tua harus tetap menunjukkan kepeduliannya terhadap perkembangan keimanan dan amal ibadah anak. Kepedulian itu dapat ditunjukkan dalam bentuk pertanyaan, diskusi atau memperhatikan sikap dan perilakunya. Dengan demikian, “keraguan/kemungkinan terjadinya kecemasan pada anak dalam menghadapi hal-hal baru atau hal yang berbeda dengan apa yang terbiasa dialaminya di dalam keluarga, segera dapat dihilangkan”[14]

Dengan diberikannya materi aqidah, anak diharapkan menjadi insan yang bertakwa, berkepribadian muslim dan insan kamil, kesemuanya itu menghendaki insan yang mengabdi kepada Allah SWT. Secara tulus, sehingga jiwanya, sikap, minat, falsafah hidup dan kepercayaannya menunjukkan pengabdian serta pengenalan diri kepada Allah.

2). Syari’ah
Secara etimologis, syari’ah adalah:
Jalan yang harus ditempuh (oleh setiap umat Islam). Dalam arti teknis, syari’ah adalah seperangkat norma Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.[15]

Syari’at merupakan aturan atau undang-undang Allah tentang pelaksanaan dari penyerahan diri secara total melalui proses tidak langsung dalam hubungannya dengan sesama makhluk lainnya (mu’amalah), baik dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu, secara garis besar, syari’at meliputi dua hal pokok yaitu “ibadah dalam pengertian khusus atau ibadah mahdhah dan ibadah dalam arti umum (mu’amalah atau ibadah ghairu mahdhah)”[16]. 

Pembinaan ketaatan beribadah pada anak dimulai dalam keluarga. Kegiatan ibadah yang lebih menarik bagi anak yang masih kecil adalah yang mengandung gerak. Pengertian tentang ajaran agama belum dapat dipahaminya. Oleh karena itu, ajaran agama yang abstrak tidak menarik perhatiannya. Anak-anak suka melalaikan shalat, meniru orang tuanya, kendatipun ia tidak mengerti apa yang dilakukannya itu. Pengalaman keagamaaan yang menarik bagi anak adalah shalat berjama’ah, shalat tarawih, buka bersama, dan lain-lain. Pelaksanaan perintah tersebut, bagi anak-anak adalah dengan persuasi, mengajak dan membimbing mereka untuk melakukan shalat. Jika anak-anak terbiasa shalat di dalam keluarganya, kebiasaan tersebut akan terbawa sampai ia dewasa bahkan sampai tua nanti.

Dengan diberikannya materi tentang syari’at, anak diharapkan mampu menjalankan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mampu memilih antara yang baik dan buruk, juga mampu bersosialisasi dengan orang lain di lingkungan keluarganya tidak akan begitu saja larut dalam situasi lingkungannya. Anak telah memiliki standar nilai yang tetap dan dipegang secara teguh sejak keluar dari rumahnya. Standar nilai inilah yang akan mereka gunakan untuk menimbang nilai-nilai lainnya di luar rumahnya, agar dalam menjalani hidup tidak sesat atau salah jalan.

3). Akhlak
Di samping aqidah dan syari’ah, baik ibadah maupun mu’amalah sebagaimana disebutkan di atas, ajaran Islam meliputi juga akhlak. Akhlak berasal dari kata khuluq yang berarti perangai, sikap, tingkah laku, watak, budi pekerti. Perkataan itu mempunyai hubungan dengan sikap, perangai, tingkah laku atau budi pekerti manusia terhadap Khalik (pencipta alam semesta) dan makhluk (yang diciptakan). Karena itu, dalam garis-garis besarnya ajaran akhlak itu berkenaan dengan sikap dan perbuatan manusia terhadap “1) al-Khaliq, yakni Tuhan yang Maha Pencipta, 2) terhadap sesama makhluk (segala sesuatu yang diciptakan oleh Khaliq)”[17]. Jadi, akhlak adalah ”pelaksanaan ibadah kepada Allah dan bermu’amalah dengan sesama makhluk dengan penuh keikhlasan seakan-akan disaksikan langsung oleh Allah, meskipun dia tidak melihat Allah secara langsung”[18]. 

3. Metode Pendidikan Anak
Peristiwa pendidikan ditandai dengan adanya internalisasi edukatif. Agar interaksi ini dapat berlangsung secara edukatif dan efisien dalam mencapai tujuan, maka disamping dibutuhkan pemilihan bahan/materi pendidikan yang tepat, perlu dipilih metode yang tepat pula. Metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan. Untuk menentukan apakah sebuah metode dapat disebut baik, diperlukan kriterium (patokan) yang bersumber pada beberapa faktor. Faktor utama yang menentukan adalah tujuan yang akan dicapai.

Menurut Abdullah Nasih Ulwan metode pendidikan yang berpengaruh terhadap anak meliputi: “pendidikan dengan keteladanan, pendidikan dengan pembiasaan, pendidikan dengan nasehat, pendidikan dengan memberikan perhatian, dan pendidikan dengan memberikan hukuman”[19].

a. Pendidikan dengan keteladanan
Pendidikan dengan teladan berarti “pendidikan dengan memberikan contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir dan sebagainya”[20]. Metode keteladanan sebagai suatu metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan pendidikan dengan memberikan contoh keteladanan yang baik kepada siswa agar mereka dapat berkembang baik fisik maupun mental dan memiliki akhlak yang baik dan benar. “Keteladanan memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pendidikan ibadah, akhlak, kesenian, dan lain-lain”[21]. Oleh karena itu, masalah keteladanan menjadi faktor penting dalam menentukan baik buruknya anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan agama. Begitu pula sebaliknya jika pendidik adalah seorang pembohong, penghianat, orang yang kikir, penakut dan dihina, maka si anak akan tumbuh dalam kebohongan, khianat, durhaka, kikir, penakut dan hina.

Dengan contoh tingkah laku perbuatan tersebut, akan menimbulkan gejala identifikasi yaitu penyamaan diri dengan orang yang ditiru. Hal ini sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak didik. Ini merupakan suatu proses yang ditempuh anak didik dalam mengenal nilai-nilai kehidupan. “Mula-mula nilai-nilai kehidupan itu diserap anak didik tidak terasa, kemudian hal ini dapat dimilikinya, seperti ia mengikuti cara sembahyang yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukannya”[22]. Oleh karena itu, Allah SWT. mengutus nabi Muhammad saw. agar menjadi teladan bagi seluruh manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan Islam. 

Dari uraian dan ayat di atas, jelas bahwa metode keteladanan merupakan metode yang sangat penting sekali diterapkan pada anak dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak. Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak, yang segala perbuatannya disadari atau tidak, akan ditiru oleh mereka dan senantiasa akan tertanam dalam kepribadian anak. Allah SWT. juga telah mengajarkan dan meletakkan metode keteladanan pada diri Rasulullah Muhammad saw. sebagai teladan yang baik bagi umat muslimin maupun bagi umat manusia agar menjadi gambaran yang hidup dan abadi bagi generasi-generasi umat selanjutnya dalam kesempurnaan akhlak dan universalitas keagungannya.

b. Pendidikan dengan pembiasaan
Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada teori konvergensi di mana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dan dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik.

Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Yang dimaksud dengan kebiasaan “ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform, dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya)”[23]. Pembiasaan dinilai sangat efektif jika penerapannya dilakukan terhadap peseta didik yang masih kecil. Karena anak yang masih kecil memiliki rekaman ingatan yang kuat dan kondisi kepribadian yang belum matang, sehingga mereka mudah terlarut dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Salah satu wasiat Ibnu Sina dalam pendidikan anak-anak adalah:

Hendaknya ada bersama seorang anak kecil dalam pergaulan sehari-hari, anak-anak kecil lain yang berbudi pekerti baik, beradat kebiasaan terpuji, karena anak kecil dengan sesama anak lebih membekas pengaruhnya, satu sama lain akan saling meniru terhadap apa yang mereka lihat dan perhatikan.[24]

Di dalam surat al-‘Alaq, metode ini disebut secara implisit, yakni dari cara turunnya wahyu pertama (ayat 1-5):

Jibril menyuruh Nabi mengucapkan kata إقرأ (baca) dan Nabi menjawab (saya tidak bisa membaca) lalu Jibril mengulangi dan Nabi menjawab dengan perkataan yang sama. Hal ini terulang sampai 3 kali. Kemudian Jibril membacakan ayat 1-5 dan mengulanginya sampai beliau hafal dan tidak lupa lagi apa yang disampaikan Jibril tersebut. Metode pembiasaan dan pengulangan yang digunakan Allah dalam mengajar Rasul-Nya amat efektif sehingga apa yang disampaikan kepadanya langsung tertanam dengan kuat di dalam kalbunya.[25]

Pembiasaan merupakan salah satu metode yang sangat penting terutama bagi anak-anak. Mereka beluk menginsyafi apa yang disebut baik dan buruk dalam arti susila. Mereka juga belum mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan seperti pada orang dewasa. Oleh karena itu, sebagai awal dalam proses pendidikan, pembiasaan merupakan cara yang sangat efektif dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam jiwa anak. Nilai-nilai yang tertanam dalam dirinya ini kemudian akan termanifestasikan dalam kehidupannya semenjak ia mulai melangakah ke usia remaja dan dewasa.

c. Pendekatan dengan nasehat
Pendidikan dengan nasehat adalah “pendidikan anak dengan petuah dan memberikan kepadanya nasehat-nasehat”[26]. Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan anak. Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik ke dalam jiwa apabila digunakan dengan cara yang dapat mengetuk relung jiwa melalui pintunya yang tepat. Bahkan, dengan metode ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan serta kemajuan masyarakat dan umat. Cara yang dimaksud ialah hendaknya nasihat lahir dari hati yang tulus. Artinya, pendidik berusaha menimbulkan kesan bagi peserta didiknya bahwa ia adalah orang yang mempunyai niat baik dan sangat peduli terhadap kebaikan peserta didik. Hal inilah yang membuat nasehat mendapat penerimaan yang baik dari orang yang diberi nasehat. Menurut an-Nahlawi nasihat memiliki 2 bentuk, yaitu: “Pemberian nasihat berupa penjelasan dan Pemberian peringatan”[27]
  1. Pemberian nasihat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasihati menjauhi kemaksiatan sehingga terarah pada sesuatu yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan keuntungan. Syarat terpenting ketulusan nasihat harus datang dari penasehat yang tidak menyandarkan pemberian nasihatnya pada kepentingan duniawi dan material dari diri pribadi. Oleh karena itu, setiap pendidik yang memberi nasihat harus menyucikan diri dari riya’ dan dari segala hal yang memberi kesan pengutamaan kepentingan pribadi. Dengan demikian, ketulusan nasihatnya tidak bercampur dengan pamrih sehingga lenyaplah kharisma dan pengaruhnya terhadap diri siswa.
  2. Pemberian peringatan, dalam hal ini pemberi nasihat harus menuturkan kembali konsep-konsep dan peringatan-peringatan ke dalam ingatan obyek nasihat sehingga konsep dan peringatan itu dapat menggugah berbagai perasaan, afeksi dan emosi yang mendorongnya untuk melakukan amal saleh dan bersegera menuju ketaatan kepada Allah serta pelaksanaan berbagai perintah-Nya, dan peringatan-peringatan itu dapat terjadi melalui berbagai sarana di antaranya peringatan melalui kematian, sakit dan hari perhitungan amal.
Dengan demikian, para pendidik hendaknya memahami betul akan hakikat ini, dan menggunakan metode-metode al-Qur’an dalam upaya memberikan nasihat, peringatan dan bimbingannya untuk mempersiapkan anak-anak mereka yang masih usia muda, baik masih anak-anak maupun pada usia remaja. Dalam hal ini aqidah maupun moral dalam pembentukan kepribadian maupun kehidupan sosial, jika mereka memang menginginkan kebaikan, kesempurnaan, kematangan akhlak dan akal anak-anak.

d. Pendidikan dengan memberikan perhatian
Yang dimaksud pendidikan dengan perhatian adalah:
Senantiasa mencurahkan perhatian penuh dan mengikuti perkembangan aspek aqidah dan moral anak,mengawasi dan memperhatikan kesiapan mental dan sosial, di samping selalu bertanya tentang situasi pendidikan jasmani dan kematangan ilmiahnya.[28].

Pendidikan dengan perhatian merupakan modal dasar yang paling kokoh dalam pembentukan kepribadian anak dan termotivasi untuk menunaikan tanggung jawab dan kewajiban secara sempurna. Melalui upaya tersebut akan tercipta muslim hakiki, sebagai batu pertama untuk membangun pondasi Islam yang kokoh dan kuat. Perhatian menurut cara kerjanya dibagi menjadi dua, yaitu: “1) Perhatian spontan, yaitu perhatian yang tidak disengaja atau tidak sekehendak subyek. 2) Perhatian refleksi, yaitu perhatian yang disengaja atau sekehendak subyek’[29].

Memperhatikan anak yang dilakukan oleh pendidik adalah asas pendidikan yang paling utama. Mengingat anak akan senantiasa terletak di bawah perhatian dan pengawasan pendidikan jika pendidik selalu memperhatikan terhadap segala gerak-gerik ucapan, perbuatan dan orientasinya. Jika melihat sesuatu yang baik, dihormati, maka doronglah sang anak untuk melakukannya. Dan jika melihat sesuatu yang jahat, cegahlah mereka, berilah peringatan dan jelaskanlah akibat yang membinasakan dan membahayakan. Jika pendidik melalaikan anak didiknya, sudah barang tentu anak didik akan menyeleweng dan terjerumus ke jurang kehancuran dan kebinasaan.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa orang tua dalam memperhatikan pendidikan anak haruslah sebagai orang tua itu tahu betul tingkah laku anak agar mudah dalam memberikan solusinya dan juga laranglah mereka apa yang dilarang Allah dan perintahkan mereka apa yang diperintahkan oleh Allah. Insya Allah anak tersebut akan menjadi anak yang shaleh yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

e. Pendidikan dengan memberikan hukuman.
Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus digunakan. Hukuman baru digunakan apabila metode lain seperti nasihat dan peringatan tidak berhasil guna dalam memperbaiki peserta didik. Hukuman adalah metode kuratif. Artinya, tujuan hukuman ialah untuk memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk balas dendam. Oleh sebab itu, pendidik hendaknya tidak menjatuhkan hukuman dalam keadaan marah.69 Prinsip pokok dalam mengaplikasikan pemberian hukuman yaitu bahwa hukuman adalah jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak didik. “Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan peserta didik dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan”[30].

Rasulullah saw. telah meletakkan metode dan tata cara bagi pendidik. Adapun persyaratan memberikan hukuman pukulan menurut Abdullah Nasih Ulwan,71 sebagai berikut:
  1. Pendidik tidak terburu-buru menggunakan metode pukulan, kecuali setelah menggunakan semua metode lembut.
  2. Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
  3. Ketika memukul, hendaknya menghindari anggota badan yang peka seperti: kepala, muka, dada dan perut.
  4. Pukulan untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu keras dan tidak menyakiti, pada kedua tangan atau kaki dengan tongkat yang tidak besar.
  5. Tidak memukul anak, sebelum ia berusia 10 tahun. 
  6. Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya ia diberi kesempatan untuk bertobat.
  7. Pendidik hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri. 
  8. Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan pendidik melihat bahwa pukulan sepuluh kali tidak juga membuatnya jera, maka boleh ia menambah dan mengulanginya, sehingga anak menjadi baik kembali.[31]
Dari uraian di atas, jelas bahwa pemberian hukuman haruslah ditempuh sebagai jalan terakhir dalam proses pendidikan. Seorang pendidik yang bijaksana tidak seenaknya mengaplikasikan hukuman fisik kepada anak didiknya kecuali hanya sekedarnya saja dan sesuai dengan persyaratan di atas. Hukuman juga akan meninggalkan pengaruh buruk pada jiwa anak sehingga menghalanginya untuk faham dan mengerti bahkan dapat mematikan semangatnya untuk berlaku disiplin dan progresif. Oleh karena itu, setiap pendidik hendaknya memperhatikan beberapa syarat dalam pemberian hukuman di atas yang mengandung makna edukasi, tetap dalam jalinan cinta kasih dan sayang, menimbulkan keinsyafan dan penyesalan bagi anak didik, diikutkan dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan kepada anak didik.

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
  • [1] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 885.
  • [2] H. M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), h. 111.
  • [3] Zahara Idris dan H. Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan 1, (Jakarta: PT. Grasindo 1995), h. 87.
  • [4] Tembong Prasetya, Pola Pengasuhan Ideal, (Jakarta: PT. Elex Media Koputindo, 2003), h. 29.
  • [5] Ibid, h. 93.
  • [6] M. Arief Hakim, Mendidik Anak Secara Bijak; Panduan Keluarga Muslim Modern, (Bandung: Marja, 2002), h. 19.
  • [7] Ibid., h. 88.
  • [8] Chabib Thoha, op.cit., h, 112.
  • [9] M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), Cet. 8, h. 49.
  • [10] Ibid, h. 99.
  • [11] Kunaryo Hadi Kusumo, Pengantar Pendidikan, (Semarang: IKIP Press, 1996), h. 45.
  • [12] Muhammad Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 22.
  • [13] Muslim Nurdin, dkk., Moral dan Kognisi Islam, (Bandung: Alfabeta, 1993), h. 37.
  • [14] Jalaludin Rahmat, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 60-62.
  • [15] Ibid, h. 28.
  • [16] Muslim Nurdin, dkk., op. cit., h. 37.
  • [17] M. Daud Ali, op. cit., h. 34.
  • [18] Muslim Nurdin, op. cit., h. 37.
  • [19] Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendiidkan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 120
  • [20] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 178.
  • [21] Armai Arief, op.cit, h. 121.
  • [22] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 182.
  • [23] Hery Noer Aly, Op. Cit., h. 184.
  • [24] Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), h. 189
  • [25] Erwati Aziz, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 81.
  • [26] Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., h. 209.
  • [27] Abdullah Nasih Ulwan, op. cit., h. 275.
  • [28] Ibid h. 275.
  • [29] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 32.
  • [30] Armai Arief, op. cit., h. 131.
  • [31] Ibid., h. 325-327.

Comments

  1. hey your website is so good and very good to read and retrieve the contents of this site from the site you are content to have articles that are very useful
    dominoqq online
    poker online
    bandar judi
    judi terpercaya
    agen domino
    situs bandarq

    ReplyDelete
  2. pengertian soal pendidikan di blog yang kamu miliki sangat lah bagus, ketika saya banyak membaca setiap artikel pada blog yang kamu mimiliki artikel yang sangat bagus
    Dominoqq Online
    QQ Domino Online
    QQ Online Terpercaya
    Domino99 Terbaik

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengertian Dan Jenis Variasi Bahasa Menurut Ahli

Pengertian Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Menurut Ahli

Pengertian Media Video Pembelajaran Menurut Para Ahli