Pengertian ilmu Perundang-Undangan Menurut Ahli

Pengertian ilmu Perundang-Undangan 
Ilmu Perundang-Undangan adalah ilmu yang berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law, terutama di Jerman sebagai negara yang pertama kali mengembangkan. Secara konsepsional Ilmu Perundang-Undangan menurut Burkhardt Krems adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum negara (die interdisziplinare wissenschaft vonder staatlichen rechtssetzung). Lebih lanjut Burkhardt Krems membagi Ilmu Perundang-Undangan dalam tiga wilayah:[1]
1. proses perundang-undangan.
2. metode perundang-undangan.
3. teknik perundang-undangan.

Burkhardt Krems mengatakan perundang-undangan mempunyai dua pengertian:[2]
1. teori perundang-undangan yang berorientasi pada mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian dan bersifat kognitif.
2. Ilmu perundang-undangan yang berorientasi melakukan perbuatan dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan dan bersifat normatif.

Dalam hal ini Ilmu perundang-undangan memberikan pengertian sebagai berikut:[3]
a. norma hukum dan tata urutan atau hirarki.
b. lembaga-lembaga negara yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.
c. lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai wewenang di bidang peratura perundang-undangan.
d. tata susunan norma-norma hukum negara.
e. jenis-Jenis perundang-undangan beserta dasar hukumnya.
f. asas-asas dan syarat-syarat serta landasan-landasannya.
g. pengundangan dan pengumumannya.
h. teknik perundang-undangan dan proses pembentukannya.

Menurut Hans Nawiasky memperinci urutan norma hukum yang terdiri dari:[4]
1. Grundnorm.
2. Aturan-aturan dasar negara.
3. aturan formal, undang-undang.
4. peraturan di bawah undang-undang.

Asas-asas Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Asas-asas Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yakni: 
1. Asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, dan
2. Asas-asas dalam materi muatan Peraturan Perundang-undangan. 

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: [5]

  1. Kejelasan tujuan; Yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
  2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
  3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; Yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa dalam pembenetukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan peerundang-undangan.
  4. Dapat dilaksanakan; Yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secarra filosofis, yuridis mauupun sosiologis.
  5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan yang dimaksud dengan Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-uundangan, sistematika dan pilihan kata atau termonologi, serta bahasa hukuumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
  6. Keterbukaan. adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturran perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perrundang-undangan.
Materi muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas sebagai berikut: [6]

  1. Pengayoman; adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
  2. kemanusiaan; adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia seerta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
  3. kebangsaan; adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.
  4. kekeluargaan; adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-uundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
  5. kenusantaraan; kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasrkan Pancasila.
  6. bhineka tunggal ika; adalah bahwa materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  7. keadilan; 
  8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; adalah materi muatan peeraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
  9. ketertiban dan kepastian hukum; adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
  10. keseimbangan , keserasian, dan keselarasan. adalah bahwa materi muatan setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat degan kepentingan dan negara.
Menurut Bagir Manan, suatu Peraturan Perundang-undangan yang baik setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal, yakni:[7]

  1. Dasar Yuridis (juridishe gelding), yakni pertama, keharusan adanya kewenangan dari pembuat Peraturan Perundang-undangan. Setiap Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, Peraturan Perundang-undangan itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala akibatnya batal secara hukum. Misalnya, undang-undang dalam arti formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Setiap undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden dan DPR adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri, Peraturan Daserhdan sebagainya harus pula menunjukkan kewenangan pembuatnya. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis Peraturan Perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat. Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan Peraturan Perundang-undangan tersebut. Misalnya kalau UUD 1945 atau undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undang-undang, maka hanya dalam bentuk undang-undan ha itu diatur. Kalau diatur dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka Keputusan Presiden tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, Peraturan Perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan) persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang pengundangan (pengumuman) bahwa setiap undang-undang harus diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan, maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perndang-undangan tingkat lebih bawah.
  2. Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya (baca: Peraturan Perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya. 
  3. Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum (rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: Peraturan Perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain sebagainya Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana yan melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau Peraturan Perundang-undangan. Tetapi ada kalanya sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau Peraturan Perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguh-sungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dalam Sistem Hukum di Indonesia
Teori hierarki norma hukum dikemukakan oleh Hans Kelsen. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang merupakan norma tertinggi dalam sistem norma tersebut, tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi norma itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma yang berada dibawahnya.[8]

Masih menurut Kelsen, hukum merupakan norma yang dinamik, dimana hukum merupakan sesuatu yang dibuat suatu prosedur tertentu dan segala sesuatu yang dibuat melalui cara ini adalah hukum. Lebih jauh Kelsen menjelaskan tentang karakter khas dan dinamis dari hukum, yakni :

“Hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum lainnya, dan juga sampai derajat tertentu menentukan isi norma lainnnya tersebut....hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma dari norma lainnya digambarkan sebagai hubungan “superordinasi” ....kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, dan bahwa regressus ini diakhiri oleh suatu norma dasar, oleh karena menjadi dasar tertinggi validitas keseluruhan tata hukum, membentuk kesatuan tata hukum"[9]

Salah seorang murid Kelsen bernama Hans Nawiasky mengembangkan teori yang dikedepankan Kelsen. Nawiasky dalam bukunya berjudul Algemeine Rechtlehre mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana norma yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada norma yang lebih tertinggi yang disebut norma dasar. Tetapi Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Nawiasky mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi 4 (empat) kelompok besar yang terdiri dari[10] :

  • Kelompok I : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)
  • Kelompok II : Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara)
  • Kelompok III : Formell Gesetz (Undang-undang formal)
  • Kelompok IV : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan ortonom)
Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang mengikat secara umum. Sebelum menuju pada poin utama Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia menurut UU No. 12 Tahun 2011, tak ada salahnya kita juga mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi sebelumnya. Berikut merupakan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia di masa sebelumnya.

Jika kita teliti secara seksama Indonesia sebetulnya menganut teori jenjang norma hukum Kelsen-Nawiasky. Hal ini dapat dirujuk dari Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUP3) dan peraturan yang sebelumnya, yakni Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.

Menurut Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini tak pelak identik dengan norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) atau norma dasar (grundnorm, basic norm)[11] yang menempati urutan tertinggi di puncak piramida norma hukum, kemudian diikuti oleh UUD 1945, serta hukum dasar tidak tertulis atau konvensi ketatanegaran sebagai aturan dasar negara (staatgrundgesetz), dilanjutkan dengan Undang-Undang/Perpu (formell gesetz), serta peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung und autonome satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan, dan Peraturan Daerah.

Ada juga ahli yang tidak sepakat menempatkan UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuhnya dan TAP MPR yang berisi garis-garis pokok kebijakan negara sifat dan norma hukumnya masih secara garis besar dan merupakan norma hukum tunggal tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, tetapi termasuk dalam staatfundamental norm dan staatgrundgesetz sehingga menempatkan keduanya kedalam jenis peraturan perundang-undangan sama dengan menempatkannya terlalu rendah.[12]

Penempatan hirarki peraturan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 hingga Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 terbilang cukup unik, karena tidak ada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturan hanya sebatas pada asas yang menyebutkan misalnya : Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”. Mengapa tidak diatur? Antara lain karena tata urutan mempunyai konsekuensi. Bahkan setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Peraturan perundang-undangan tingkatan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan, bahkan batal demi hukum. Konsekuensi ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur, kecuali ada ketentuan sebaliknya, misalnya dalam UUD (UUDS 1950 dan KRIS) disebutkan “undang-undang tidak dapat diganggu gugat” bertalian dengan ajaran “supremasi parlemen”. Disini UUD lebih dipandang sebagai “asas-asas umum” daripada sebagai kaidah hukum.[13]

Faktor lain yang menyebabkan tidak ada kelaziman mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum positif tidak hanya berupa peraturan perundang-undangan, melainkan meliputi juga hukum tidak tertulis (yurisprudensi, hukum adat, hukum kebiasaan). Kaidah-kaidah hukum tidak tertulis ini dapat juga digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau sebaliknya, walaupun tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-undangan. Di Inggris, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (delegated legislation) dapat diuji dengan common law dan prinsip-prinsip umum seperti “bias, ultra vires” dan lain-lain. Di Belanda peraturan atau keputusan administrasi dapat diuji terhadap asas-asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik.

Didalam Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 Ketetapan MPRS/MPR dihapuskan dari hirarki peraturan perundang-undangan dan mengembalikan kedudukan Perpu setingkat dengan UU. Penghapusan Ketetapan MPR dari tata urutan dari peraturan perundang-undangan dinilai tepat karena setelah UUD 1945 mengalami perubahan makin berkembang pengertian bahwa format peraturan dasar ini terutama menyangkut kedudukan ketetapan MPR yang sejak lama mendapat kritik dari ahli hukum tata negara, mengalami perubahan. Kedudukan Ketetapan MPR sebagai salah satu bentuk peraturan tidak dapat dipertahankan, format peraturan dasar yang dapat dipertahankan secara akademis hanya Naskah UUD dan Naskah Perubahan UUD, yang keduanya sama-sama merupakan produk MPR. [14]

Disamping itu, Undang Undang Nomor 10 tahun 2004 dapat membawa perubahan positif di masa depan karena telah mengganti nomenklatur keputusan presiden dengan peraturan presiden, karena selama ini presiden menerbitkan produk hukum yang berisi peraturan (regeling) dengan yang bersubstansi keputusan (Beschikking) sama-sama dinamakan keputusan presiden sehingga mempersulit orang awam untuk membedakan mana yang termasuk peraturan(regeling) dengan mana yang termasuk keputusan (Beschikking).

Namun demikian, Konstruksi hukum tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 tetap saja mengandung beberapa kelemahan. Jimly Asshiddiqie[15] Pakar Hukum Tata Negara UI misalnya menyebutkan ada beberapa kelemahan, diantaranya: (1) karena naskah UUD 1945 sekarang dibuat terpisah maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut dilengkapi dengan “….dan Perubahan UUD”; (2) hanya kerena pertimbangan bahwa Tata urutan peraturan cukup ke tingkat peraturan yang ditetapkan oleh Presiden, maka bentuk peraturan menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut, padahal Peraturan Menteri penting ditempatkan di atas Peraturan Daerah, karena peraturan tingkat menteri itu dalam praktek banyak sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.

Jauh sebelum berlangsung pembahasan dan pengesahan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jimly Asshiddiqie merekomendasikan agar pengaturan mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan dalam Ketetapan MPR sebaiknya ditiadakan, sebaiknya ketentuan mengenai bentuk peraturan dan mengenai hirarkinya diatur dalam UUD bukan hanya dalam bentuk undang-undang.[16]

Pada tanggal 12 Agustus 2011, pemerintah mengundangkan UU yang sebelumnya telah dibahas dan disetujui bersama dengan DPR yakni Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. 

Piramida Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia
Menelisik substansi Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka ada beberapa perubahan, antara lain : pertama, Ketetapan MPR yang didalam UU No. 10 Tahun 2004 dihapuskan dari hirarki peraturan perundang-undangan, dalam UU No. 12 Tahun 2011 dimunculkan kembali dan berada di bawah UUD 1945 seperti yang pernah diatur dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Di dalam Penjelasan Pasal 7 Ayat (2) huruf b dijelaskan yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusaywaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2001 tanggal 7 Agustus 2003.

Kedua, Peraturan Desa yang dahulu masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sekarang di UU No. 12 Tahun 2011 dihapuskan dari hirarki peraturan perundang-undangan. Tetapi keberadaannya tetap diakui dan masih mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan berdasarkan Pasal 8 ayat (1 dan 2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011

Ketiga, materi muatan undang-undang lebih diperluas, selain berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, juga sudah diakomodir mengenai pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Keempat, dalam pembentukan peraturan daerah harus dilakukan pengkajian dan penyelarasan yang dituangkan dalam Naskah Akademik.

Di dalam Penjelasan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga ditegaskan bahwa yang termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. 

Jenis peraturan perundang-undanga selain yang telah disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (1) di atas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan, yakni: peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat , Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Isi ketentuan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 ini sesungguhnya sama dengan Penjelasan Pasal 7 Ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004. Tetapi patut disayangkan UU No. 12 Tahun 2011 juga tidak menentukan secara pasti apa saja materi muatan dari pelbagai jenis peraturan tersebut, serta bagaimana penjenjangan atau hirarki dari peraturan-peraturan tersebut dan bagaimana kedudukan dari peraturan-peraturan tersebut terhadap peraturan yang telah ditetapkan penjenjangannya dalam Pasal 7 Ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

  • A. Hamid Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia
  • Amiroeddin Syarif, “Perundang-Undangan Dasar, Jenis, Dan Teknik Membuatnya”, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997,
  • Armen Yasir, 2013. Hukum Perundang-Undangan. PKKPUU FH Unila, Bandar Lampung
  • Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundangan-undangan di Daerah, Pusat Penerbitan Unisba, Bandung, 1995
  • ----------------------, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta, 1992
  • Harry Alexander, Panduan Perancangan Perundang-undangan Di Indonesia, Solusindo, Jakarta,2004
  • Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif-Deskriftif, Rimdi Press, Jakarta, 1995
  • HAS Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, 2006
  • Irawan Soejiti, Tehnik Menbuat Peraturan Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1989
  • ----------------------, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah, dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983
  • Jimly Asshidiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Ind. Hill-Co, Jakarta,1998
  • Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
  • Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, 1997
  • Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan, Mandar maju, Bandung, 1998
  • Rony Sautma HB, Pengantar Pembentukan Undang-Undang Republik Indoneisa, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
  • Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan
  • Soehino, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan, Liberty, Yogyakarta, 1996

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS

  • [1] Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, “Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar Dan Pembentukannya”, Kanisius, Yogyakarta, hal. 3.
  • [2] Ibid. hal. 2. 
  • [3] Amiroeddin Syarif, 1997, “Perundang-Undangan Dasar, Jenis, Dan Teknik Membuatnya”, PT Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1-2. 
  • [4] Maria Farida Indrati Soeprapto Op.Cit. hal. 39.
  • [5] Lihat pasal 5 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan penjelasan pasal 5
  • [6] Lihat pasal 6 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan penjelasan pasal 6
  • [7] Bagir Manan, 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.Co, Jakarta. Hal 39
  • [8] Beberapa penulis menyatakan bahwa teori hirarki norma dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl, atau paling tidak Merkl telah menulis teori terlebih dahulu yang disebut Juliae dengan Stairwell structure of legal order. Teori Merkl adalah tentang tahapan hukum, yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem hirarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan dan tindakan hukum. Norma yang mengkondisikan berisi kondisi untuk pembuatan norma yang lain atau tidakan. Pembuatan hirarkis termanifestasi dalam bentuk regresi dari sistem ke sistem tata hukum yang lebih rendah. Proses ini selalu merupakan merupakan proses konkretisasi dan individualisasi. Lihat Jimly Assiddiqie & M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 109; Maria Farida Indrati Soeprapto, Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998 hlm. 25
  • [9] Hans Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni : Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif-Deskriftif, Rimdi Press, Jakarta, hlm. 110-125
  • [10] Marsillam Simanjuntak, 1997, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, hal. 30-32
  • [11] Penempatan Pancasila sebagai Grundnorm menurut Marsillam Simanjuntak dalam bukunya mempersoalkan konsepsi Pancasila itu merupakan hasil rumusan deduksi dari grundnorm bangsa Indonesia ataukah Pancasila dalam UUD 1945 itulah grundnorm? Pertanyaan bersifat teoritis ini mengemuka karena menurut Marsillam terdapat sejumlah persoalan yang hingga saat ini belum terdapat jawaban yang rasional komprehensif, yaitu : pertama, jika Pancasila adalah grundnorm apakah hanya itu satu-satunya ataukah ada hal lain yang merupakan norma dasar atau norma yang lebih dasar lagi dari sistem hukum kita? Kedua, karena Pancasila diformulasikan secara tertulis apakah tidak selalu mengandung dan mengundang problem penafsiran? Dan ketiga, apakah Pancasila sebagai suatu norma dasar yang dituangkan secara tertulis cukup lengkap untuk memberikan penjelasan pada kebutuhan akan tafsir yang tepat bagi setiap kesangsian yang terjadi di bidang norma hukum? Pada bagian lain Marsillam menyatakan keheranannya terhadap Pancasila yang dalam praktik telah menderivasikan konkretisasi hukum yang berlainan bahkan bertentangan. Hal ini terbukti dari sejarah tata negara Indonesia yang menunjukkan bahwa Pancasila telah menjadi grundnorm dari tiga macam konstitusi yang berbeda-beda (UUD 1945, Konstitusi RIS dan UUDS 1950). Baca Marsillam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Garfiti, Jakarta, 1997, hal. 30-32
  • [12] Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 1 Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius, , hlm. 49
  • [13] Bagir Manan, 2004. Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH-UII Press, hal. 201-202
  • [14] Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 Pasca Amandemen menyatakan bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
  • [15] Jimly Asshiddiqie. 2000. “Tata Urut Perundang-Undangan dan Problematika Peraturan Daerah” Makalah yang disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD Se-Indonesia, di selenggarakan di Jakarta oleh LP3HET, Jum’at 22 Oktober 2000.
  • [16] Jimly Asshiddiqie, 2001. “Telaah Akademis Atas Perubahan UUD 1945” dalam Jurnal Demokrasi & HAM Vol 1. No. 4 September-November 2001, hal 9-32

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Dan Jenis Variasi Bahasa Menurut Ahli

Pengertian Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Menurut Ahli

Pengertian Media Video Pembelajaran Menurut Para Ahli