Pengertian Pemimpin dalam Fiqih Siyasah dan Hukum Positif Menurut Ahli

Pengertian Pemimpin dalam Fiqih Siyasah dan Hukum Positif 
Kata pemimpin di dalam bahasa Arab mempunyai beberapa istilah yaitu Imam, Khalifah, Amir, Malik dan Sulthan. Imam menurut bahasa berasal dari kata (Amma-yaummu-imaman) yang berarti ikutan bagi kaum[1], dan berarti setiap orang yang diikuti oleh kaum yang sudah berada pada jalan yang benar ataupun mereka yang sesat. Imam juga bisa diartikan sebagai “pemimpin”, seperti “ketua” atau yang lainnya. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya.[2]

Imam juga berarti orang yang diikuti oleh suatu kaum. Kata imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa pada kebaikan. Di samping itu, kata-kata imam sering dikaitkan dengan shalat. Oleh karena itu di dalam kepustakaan Islam sering dibedakan antara imam yang berkedudukan sebagai kepala negara atau yang memimpin umat Islam dan imam dalam arti yang mengimami shalat. Untuk yang pertama sering digunakan istilah al-Imamah al-Udhma atau al-Imamah al-Kubra sedangkan untuk yang kedua sering disebut al-Imamah al-Shugra. Biasanya kata-kata imam hanya digunakan untuk menyebut seseorang yang memimpin di dalam bidang agama.[3]

Dari sini kata khalifah sering diartikan sebagai pengganti, karena orang yang menggantikan itu berada atau datang sesudah orang yang digantikan dan ia menempati tempat dan kedudukan orang tersebut. Khalifah juga bisa berarti seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan orang yang memberi wewenang.[4]

Secara bahasa amir berasal dari kata (Amara-ya’muru-amran) yang artinya menyuruh, lawan kata dari melarang, dan dari kata yang berarti bermusyawarah. Secara istilah berarti orang yang memerintah dan dapat diajak bermusyawarah.[5]

Kata-kata amir dengan arti pemimpin tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, walaupun kata-kata “amara” banyak ditemukan di dalam al-Qur’an. Istilah amir dengan arti pemimpin hanya popular di kalangan sahabat. Hal ini terbukti pada saat para sahabat bermusyawarah di Tsaqifah Bani Sa’adah untuk menentukan pengganti nabi dalam hal keduniawian, para sahabat Anshar berkata “dari kami ada Amir dan dari Tuan-tuan juga ada Amir”. Selain itu, istilah amir juga pernah digunakan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar.[6]

Istilah selanjutnya yang menunjukkan kepada pemimpin adalah Malik. Malik secara bahasa berasal dari kata (malaka-yamliku-milkan) yang berarti memiliki atau mempunyai sesuatu. Atau dapat pula berarti pemilik perintah dan kekuasaan pada suatu bangsa, suku atau negeri.[7] Sulthan secara bahasa berarti Malik (Raja) atau wali. 

Perhatikan Rasulullah menggunakan kata Sulthan karena Rasulullah menginginkan makna penguasa itu kepada penguasa muslim. Sudah mafhum di seluruh dunia bahwa kata sulthan itu bersinonim dengan raja. Raja bersinonim dengan sulthan, kepala negara dan malik. Di Indonesia kata Sulthan lebih banyak dikenal daripada Khalifah, Imam, Malik atau Amir. Kata Sulthan diserap dalam bahasa Indonesia dengan konsep makna yang sama yaitu Raja / Kepala Pemerintahan Muslim.[8]

Di Indonesia pemimpin atau kepala negaranya dipegang oleh seorang Presiden. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan yang dalam melakukan kewajibannya sebagai Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden.[9]

Hukum Mengangkat Pemimpin dalam Fiqih Siyasah dan Hukum Positif
Dalam hal ini di kalangan ulama terjadi variasi pendapat. Menurut semua ulama Sunni, Syi’ah dan Murji’ah, mayoritas pengikut Mu’tazilah dan Khawarij, kecuali sakte Najdat, mengangkat pemimpin itu wajib hukumnya. Karena itu, akan berdosa bila meninggalkannya.[10]

Sedangkan menurut golongan najdat salah satu sakte Khawarij, utamanya Fathiyah Ibn Amir al-Hanafi, mengangkat pemimpin itu hukumnya mubah. Artinya, terserah pada kehendak umat atau rakyat mau melakukannya atau tidak. Umat atau rakyat tidak berdosa apabila meninggalkannya, dan tidak pula mendapat pahala bila melakukannya. Sebab tidak ada satu pun argumentasi naqliyah dan aqliyah yang memerintahkan atau melarangnya.[11]

Pandangan senada antara lain didukung pula oleh sebagian kecil pengikut Mu’tazilah, utamanya Abu Bakar al-Asham, Hisyam Ibn Amr al-Futi dan Ubad Ibn Sulaiman, salah seorang murid Hisyam Ibn Amr al-Futi. Bahkan lebih jauh dari itu al-Asham, sebagaimana disinggung sebelumnya, berpendapat bahwa mengangkat pemimpin itu tidak perlu sama sekali bila umat manusia telah tunduk dan patuh pada peraturan dan setia pada kebenaran. Tapi bila sebaliknya, yakni melanggar peraturan dan menyimpang dari garis kebenaran yang berdampak pada timbulnya anarki, maka barulah boleh diangkat seorang pemimpin untuk meluruskannya.[12]

Al-Qurtubhi yang merupakan ulama Sunni menanggapi pernyataan al-Asham dan mengatakan bahwa al-Asham adalah orang yang tidak mengerti syariat, begitu juga orang-orang yang berkata seperti perkataannya dan mengikuti pendapat juga madzhabnya. Menurut al-Qurthubi mengangkat pemimpin merupakan perintah yang harus didengar dan ditaati, agar persatuan dapat terwujud karenanya dan hukum-hukumnya dapat terlaksana.[13

Selain dalil ini yang menjadi dalil al-Qurthubi adalah perbuatan para sahabat Rasulullah SAW. Mereka sepakat mengangkat Abu Bakar Shiddiq setelah terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Saqifah Bani Sa’idah tentang penentuan siapa yang akan menjadi pengganti Rasulullah SAW. Ketika itu kaum Anshar berkata, “dari kami amir dan dari kalian amir.”[14]

Keinginan kalangan Anshar ini ditolak oleh Abu Bakar, Umar dan kalangan Muhajirin. Kalangan Muhajirin berkata, “Sesungguhnya bangsa Arab tidak akan beragama kecuali karena sekelompok orang dari kaum Quraisy ini”. Mereka juga menceritakan kepada kalangan Anshar tentang keberhakan orang Quraisy sebagai pemimpin. Akhirnya kalangan Anshar menerima dan taat kepada kaum Quraisy dari kalangan Muhajirin tersebut. Seandainya pengangkatan pemimpin itu tidak wajib, tidak pada kaum Quraisy dan tidak pula pada selain mereka, tentu tidak akan ada artinya dialog dan perdebatan tersebut. Tentu saat itu ada di antara mereka yang berkata, “pengangkatan imam itu tidak wajib, tidak pada orang Quraisy dan tidak pula pada selain mereka. Perdebatan kalian ini tidak berguna, sebab ini adalah perdebatan mengenai perkara yang tidak wajib.”[15]

Kaum Sunni sepakat bahwa mengangkat pemimpin itu adalah wajib hukumnya. Kewajiban tersebut, menurut al-Rayis bukan kewajiban individual (Wajib aini), tetapi kewajiban kolektif (wajib kifa’i/fardu kifayah). Karena itu, seluruh umat Islam berdosa bila tidak melakukannya, namun bila ada yang mewakilinya, umat Islam yang lain terlepas dari dosa akibat meninggalkannya. Pendapat senada dianut pula oleh al-Mawardi dan al-Ghazali.[16]

Ibn Taimiyah menambahkan bahwa kepemimpinan sebagai bagian dari agama dan sarana bertaqarrub kepada Allah. Sebab bertaqarrub kepada-Nya dalam kepemimpinan itu, yaitu dengan mentaati Allah dan mentaati Rasul-Nya, termasuk dalam taqarrub yang paling utama. Bahkan agama tidak akan dapat tegak kecuali dengan kepemimpinan. Sedangkan seluruh anak adam mustahil akan mencapai kemaslahatan optimal jika tidak ada kontrak sosial, mengingat sifat saling membutuhkan di antara mereka. Suatu kontrak sosial ini sudah pasti membutuhkan seorang pemimpin untuk mengendalikan.[17]

Kaum Syiah pun mempunyai pandangan yang sama dengan kaum Sunni, yakni mengangkat pemimpin itu merupakan kewajiban berdasarkan syariat. Hanya saja, dalam hal ini kaum Syi’ah memiliki pendapat yang sangat berbeda dengan kaum Sunni, yakni wajib mengangkatnya adalah Allah bukan umat atau rakyat. Argumentasinya, masalah pengangkatan imam itu bukanlah masalah ijtihadiah yang dapat diserahkan kepada kreatifitas akal manusia. Akan tetapi, ia merupakan rukun agama. Karena itu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang dapat menunjuk imam, bukan rakyat. Imam adalah wakil Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada yang boleh menunjuknya, kecuali Allah dan Rasul-Nya.[18]

Sedangkan kaum Mu’tazilah, pada umumnya berpendapat bahwa pengangkatan pemimpin itu merupakan kebutuhan manusia yang cenderung hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial tidak mungkin manusia hidup tanpa berhubungan dengan manusia lainnya. Dalam pergaulan itu amat dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertikaian, konflik, penindasan, pertumpahan darah, atau pembunuhan. Bahkan, dapat pula menyulut dan mengobarkan api peperangan yang akan menelan banyak korban, baik materi ataupun yang lainnya yang akan merusak segala sendi kehidupan. Pada saat seperti itulah, naluri manusia mendambakan tampilnya orang-orang tertentu yang akan menjadi juru selamat. Artinya, secara akli dapat dipastikan kemestian adanya seorang pemimpin. Karena itu, kendatipun wahyu tidak turun menyangkut eksistensi seorang pemimpin, maka berdasarkan rasio manusia sudah pasti dapat menentukan sikapnya sendiri bertalian dengan eksistensi seorang pemimpin itu.[19]

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4 disebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan negara dipegang oleh presiden yang dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu Oleh Wakil Presiden. Kemudian di dalam Pasal 8 pula menyebutkan :
  1. Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
  2. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-selambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.
  3. Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatan.[20]
Dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 4 di atas, dapat dilihat bahwa posisi seorang Presiden dan Wakil Presiden ini sangatlah penting, karena sebuah negara tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya pemegang kekuasaan yaitu Presiden. Bahkan di dalam Pasal 8 menggambarkan bahwa tidak boleh ada kekosongan sama sekali terhadap jabatan Presiden dan Wakil Presiden ini. Jika jabatan ini kosong harus segera digantikan, dari sini dapat disimpulkan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden merupakan jabatan yang penting dan wajib keadaannya.

Syarat-Syarat Pemimpin Berdasarkan Fiqih Siyasah dan Hukum Positif
Menurut Muhammad Amin bin Umar Abidin bahwa syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah seorang muslim, merdeka, laki-laki, berakal, baligh, mempunyai kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin dan keturunan bangsa Quraisy.[21]

Syarat pemimpin menurut al-Mawardi terbagi menjadi tujuh yaitu: Pertama: Al-adâlah. Kedua: Mempunyai ilmu pengetahuan hingga mencapai taraf mujtahid. Ketiga: Pancaindranya lengkap dan sehat dari pendengaran, penglihatan, lidah, dan sebagainya. Keempat: Tidak ada kekurangan pada anggota tubuhnya yang menghalanginya untuk bergerak dan cepat bangun. Kelima: Visi pemikirannya baik sehingga dapat menciptakan kebijakan bagi kepentingan rakyat dan mewujudkan kemaslahatan mereka. Keenam: Mempunyai keberanian dan sifat menjaga rakyat, yang membuatnya mempertahankan rakyatnya dan memerangi musuhnya. Ketujuh: Nasab dari keturunan Quraisy.[22]

Abdul Qadir Audah menetapkan syarat khalifah delapan syarat, Pertama: Islam. Diharamkan mengangkat pemimpin seorang kafir berdasarkan (QS.Ali Imran: 28) karena seorang kepala negara yang kafir tidak mungkin mau dan bisa melaksanakan hukum syariah yang menjadi tugas khalifah. Begitu juga diharamkan mengangkat orang kafir sebagai hakim karena di tangan hakim kekuasaan hukum ditegakkan (QS. al-Nisa’: 141). Kedua: Laki-laki. Seorang wanita menurut tabiatnya tidak cakap memimpin negara, karena pekerjaan itu membutuhkan kerja keras seperti memimpin pasukan dan menyelesaikan berbagai persoalan. Ketiga: Taklif. Yaitu sudah dewasa, di mana jabatan khalifah adalah penguasaan atas orang lain. Keempat: Ilmu Pengetahuan. Yaitu ahli dalam hukum Islam sampai bila mungkin mencapai taraf mujtahid. Bahkan dituntut mengetahui hukum internasional, traktat, dan perdagangan internasional, dan lain-lain. Kelima: Adil. Yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat kemuliaan dan akhlakul karimah, terhindar dari sifat fasik, maksiat, keji dan munkar. Keenam: Kemampuan dan Kecakapan. Yaitu di samping mampu mengarahkan umat dia juga mampu membimbing umat ke jalan yang benar sesuai dengan Syariat Islam. Ketujuh: Sehat Jasmani dan Rohani. Yaitu khalifah tidak boleh buta, tuli, bisu, dan cacat. Kedelapan: Keturunan Quraisy. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini. Karena hadits yang mengatakan imam dari Quraisy selama mereka memerintah dengan adil. Ditujukan untuk maksud terbatas, yaitu waktu dan tempat terbatas. Jadi tidak berlaku secara umum.[23]

Di Negara Indonesia syarat untuk menjadi Presiden tertuang dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 pasal (5) mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Yang mana calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut: 
  • Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
  • Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; 
  • Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya; 
  • Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden; 
  • Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; 
  • Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara; 
  • Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; 
  • Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; 
  • Tidak pernah melakukan perbuatan tercela; 
  • Terdaftar sebagai Pemilih; 
  • Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi; 
  • Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yangsama; 
  • Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; 
  • Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 
  • Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun; 
  • Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat; 
  • Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan 
  • Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia. [24
Mekanisme Pengangkatan Pemimpin dalam Fiqih Siyasah dan Hukum Positif
a. Dipilih oleh ahlul halli wal aqdi
Tentang pemilihan kepala negara oleh kalangan ahlul halli wal aqdi, telah diperdebatkan oleh ulama dari berbagai madzhab tentang berapa jumlah dewan pemilihan yang dapat mengesahkan pengangkatan kepala negara. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pengangkatan itu hanya sah dengan keikutsertaan seluruh ahlul halli wal aqdi dari seluruh negeri tanpa membatasi dengan jumlah tertentu.[25] Ulama Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang harus hadir untuk mengesahkan pengangkatan khalifah adalah seluruh ahlul halli wal aqdi. Hal ini agar selurusnya ridho atas pengangkatan tersebut dan seluruhnya menerima kepemimpinan tersebut.[26] Ulama Syafiiyah berpendapat bahwa pengesahan pengangkatan khalifat tidak disyaratkan harus dihadiri oleh seluruh anggota Ahlul halli wal aqdi dari seluruh negara, akan tetapi mengenai jumlahnya masih terjadi perdebatan.[27]

Sebagian ulama berpendapat bahwa jumlah minimal yang dapat mengesahkan pengangkatan khalifah adalah lima orang yang sepakat untuk mengangkat seseorang sebagai pemangku jabatan itu atau satu orang mencalonkan seseorang dan kemudian disetujui oleh empat orang lainnya. Pendapat mereka itu di dasarkan oleh dua hal. Pertama: Baiat Abu Bakar dilakukan oleh lima orang yang sepakat untuk mengangkatnya dan kemudian diikuti oleh orang-orang yang lainnya. Mereka adalah: Umar Ibnu Khathab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Asid bin Hudhrair, Basyar bin Sa’ad, dan Salim Maula Abi Huzaifah r.a. Kedua: Umar r.a menjadikan syura, yang terdiri atas enam orang sahabat agar satu orang dari mereka diangkat sebagai pemimpin negara dengan persetujuan lima orang sisanya. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha dan mutakallimîn dari penduduk Bashrah.[28]

Adapun kelompok yang lain, dari ulama Kufah, berpendapat bahwa pengangkatan itu dapat dilakukan oleh tiga orang, yaitu satu orang memangku jabatan dengan persetujuan dua orang sehingga satu orang menjadi pejabat dan dua orang menjadi saksi. Seperti sahnya akad perkawinan dengan satu wali nikah dan dua orang saksi. Kelompok yang lain berkata bahwa dapat dilakukan dengan satu orang karena Abbas berkata kepada Ali r.a., “Bentangkanlah tanganmu untuk aku baiat kamu.” Maka orang-orang berkata, “Paman Rasulullah saw telah membaiat anak pamannya maka tidak ada orang yang menentangnya karena hal itu adalah hukum, dan hukum satu orang dapat sah.”[29]

b. Penyerahan Mandat dari Kepala Negara Sebelumnya
Menurut al-Mawardi pengangkatan kepala negara berdasarkan penyerahan mandat dari kepala negara sebelumnya boleh dilakukan dan telah disepakati legalitasnya. Hal ini berdasarkan dua peristiwa yang pernah dilakukan kaum Muslimin, dan mereka tidak memungkirinya. Pertama, Abu Bakar menunjuk Umar bin Khattab sebagai khalifah penggantinya, kemudian kaum muslimin menerima kepemimpinan Umar bin Khattab berdasarkan penunjukkan Abu Bakar tersebut. Kedua, Umar bin Khattab mengamanatkan kepemimpinan sepeninggalnya kepada lembaga asyura. Anggota lembaga syura yang notabene adalah tokoh-tokoh periode ketika itu menerima amanat kepemimpinan ini karena meyakini keabsahannya. Sebagaian sahabat tidak menyetujuinya. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Abbas bin Abdul Muthalib yang mengecamnya atas keterlibatan nya dalam lembaga syura, “ini adalah salah satu dari sekian banyak persoalan Islam yang agung.”[30]

c. Persetujuan Umat
Imam Ahmad dalam menafsirkan hadits “Barangsiapa mati dalam keadaan ia tidak memiliki pemimpin maka ia mati dengan kematian jahiliyah” mengatakan, “Tahukah kamu apa itu pemimpin? Dia adalah yang kaum muslimin menyetujuinya dan semuanya berkata, ‘ini adalah pemimpin’ ini adalah makna dan pengertian yang dimaksud”[31]

Ibn Taimiyah, menyangkut pembaiatan Abu Bakar mengatakan bahwa seandainya waktu itu Umar bin Khattab dan sekelompok orang membaiat Abu Bakar namun para sahabat yang lain tidak bersedia untuk membaiat Abu Bakar tidak akan bisa menjadi imam karenanya. Akan tetapi, waktu itu Abu Bakar bisa menjadi imam berdasarkan pembaiatan jumhur sahabat yang mana mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan, kekuasaan dan pengaruh.[32]

Mengenai mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6A, yang menjelaskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat yang mana pasangan tersebut adalah orang yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang telah menjadi peserta pemilihan umum. Yang mendapat suara lebih dari lima puluh persen dengan sedikitnnya dua puluh persen suara dari setiap provinsi tersebar maka akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Namun bila tidak ada yang mendapat suara lebih dari 50 persen suara dari hasil pemilu, maka dilaksanakan pemilihan lanjutan dan yang menjadi kandidatnya adalah dua pasangan yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua. Dari hasil pemilihan lanjutan tersebut, pasangan yang mendapat suara terbanyak akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden yang akan menjabat selama 5 tahun ke depan.[33]

Kemudian mengenai mekanisme pengangkatan Presiden dan wakil Presiden secara terperinci dijelaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang tertera di dalam Pasal 3 ayat 6. Adapun rangkaian tatacara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dimulai dengan penyusunan daftar Pemilih yang dilakukan oleh KPU. Kemudian dimulailah pendaftaran bakal Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, setelah itu partai politik atau gabungan partai politik menetapkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian dilanjutkan dengan masa Kampanye, setelah masa kampanye selesai masuklah pada masa tenang. Tahapan selanjutnya adalah pemungutan dan penghitungan suara. Kemudian tahapan terakhir adalah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan pengucapan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden.[34]

CATATAN KAKI ARTIKEL DI ATAS
[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 1999), hal. 428.
[2]Ali al-salus, Imamah dan Khalifah, (Jakarta: Gema Insan Press, 1997), hal. 15.
[3]A Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2003), hal. 54.
[4]Taufiqi Rahman, Moralitas Pemimpin dalam Perspektif al-Quran, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hal. 21.
[5]Louis bin Nakula Dhahir Ma’luf, al-Munjid fi al- Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dâr al-Machreq sarl Publishers, 2000), hal. 344.
[6]A. Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah, hal . 59.
[7]Mahmud Yunus, Kamus Mahmud Yunus, hal. 428.
[8]A Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah , hal. 60.
[9]Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4.
[10]Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 108.
[11]Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, hal. 108.
[12]Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, hal. 108-109.
[13]Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, penerjemah Fathurrahman dkk, dari al-Jâmi li Ahkâm al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), hal. 588.
[14]Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, hal. 589.
[15]Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, hal. 590.
[16]Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, hal. 111.
[17]Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syariyah Etika Politik Islam, Terjemahan Rofi’ Munawwar, dari al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islahi al-Râ’iy wa al-Râ’iyyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hal. 227.
[18]Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, hal. 111.
[19]Mujar Ibnu Syarif, Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, hal. 113.
[20]Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 4, Pasal 8.
[21] Muhammad Amin bin Umar Abidin, Raddu al-Mukhtâr alâ al-Durri al- Mukhtâr, hal. 548.
[22]Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyyah, hal. 5.
[23]A. Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), hal. 164.
[24] Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2008 Mengenai Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 5.
[25]Muhammad Amin bin Umar Abidin, Raddu al-Mukhtâr alâ al-Durri al-Mukhtâr, hal. 369.
[26]Abu Yala al-Farra ,al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Fikr, 1994), hal. 7.
[27]Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al- Wilâyat al-Dîniyyah, hal. 6.
[28]Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyyah, hal. 6.
[29] Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyyah, hal. 7.
[30]Imam al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Dîniyyah, hal. 10.
[31]Ibn Taimiyah, Minhaju al-Sunnah al-Nabâwiyyah, (Baulaq, tp, tt), jld. I, hal. 142.
[32]Ibn Taimiyah, Minhaju al-Sunnah al-Nabâwiyyah, hal. 141.
[33]Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 6A.
[34] Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal (3) ayat 6.

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Dan Jenis Variasi Bahasa Menurut Ahli

Pengertian Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Menurut Ahli

Pengertian Media Video Pembelajaran Menurut Para Ahli