Pengertian “trafficking” dimasa lalu Menurut Ahli

Pengertian “trafficking” dimasa lalu 
Pada masa lalu, istilah “trafficking” sejauh menyangkut manusia, biasa dikaitkan secara ekslusif dengan prostitusi. Ada empat perjanjian internasional menyangkut trafficking yang dikembangkan pada awal abad duapuluh, yakni: 1904 — International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic (Persetujuan Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur), 1910 — International Convention for the Suppression of White Slave Traffic (Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Pelacur),
1921 — International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children (Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak), dan
1933 — International Convention for the Suppression of Traffic in Women of Full Age (Konvensi Internasional bagi Penghapusan Perdagangan Perempuan Dewasa).

Keempat konvensi menyangkut perdagangan manusia tersebut semuanya merujuk pada perpindahan (movement) manusia umumnya perempuan dan anak perempuan secara lintas batas negara dan untuk tujuan prostitusi. Ada beberapa hal yang melatar-belakangi persepsi seperti itu, antara lain : Pertama, kepedulian umum yang berkembang pada masa itu terfokus pada kemerosotan akhlak yang diakibatkan oleh perpindahan perempuan dalam rangka prostitusi. Dengan demikian, “consent” tidak menjadi isyu karena pemerintah pada umumnya tidak mempertimbangkan apakah perempuan yang bersangkutan setuju untuk menjadi pekerja seks atau tidak.

Dengan mengabaikan unsur “consent“, persetujuan-persetujuan internasional pada waktu itu mengabaikan elemen hak (khususnya hak kaum perempuan) untuk memilih pelayanan jasa seks sebagai suatu profesi, kedua, sifat lintas batas negara menjadi penekanan utama karena masalah prostitusi pada umumnya sudah dicakup oleh hukum (pidana atau moral) domestik. Dalam kaitan ini, pantas untuk dicatat bahwa istilah “slavery” (yang secara literer berarti “perbudakan”) telah digunakan dalam konvensi-konvensi awal menyangkut “trafficking“. Ini karena sifat perbudakan pada masa itu yang bercorak lintas batas negara, serta kekejiannya yang dikecam secara internasional, sehingga akan memudahkan upaya memasukkan masalah “trafficking” kedalam cakupan hukum internasional.

Hak asasi manusia dan “trafficking”
Walaupun keempat konvensi awal menyangkut “trafficking” diatas dikategorikan sebagai konvensi HAM, namun semuanya sebenarnya berfokus pada kepedulian untuk memberantas pergerakan pelacuran antar batas negara. Sedangkan hak asasi dari mereka yang menjadi korban trafficking tidak menjadi perhatian utama. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap HAM. Dinyatakan dalam Deklarasi (Ps. 3&4) bahwa “setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan perseorangan” dan bahwa “tak seorangpun akan diperlakukan sebagai budak atau hamba sahaya; perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya akan dilarang.”

Pada tahun berikutnya, 1949, Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi atas Pelacur) disetujui oleh Majelis Umum PBB. Konvensi ini sebenarnya menggabungkan 4 konvensi mengenai perdagangan perempuan dan anak-anak yang telah disetujui pada masa sebelumnya.

Sekalipun demikian, Konvensi 1949 ini masih mengabaikan elemen “consent”, sebagaimana ditunjukkan pada rumusan pasal 1 yang mewajibkan Negara Peserta untuk menghukum siapapun yang membeli, membujuk atau menjerumuskan orang lain kedalam pelacuran, bahkan jika yang bersangkutan menyetujuinya; atau yang melakukan eksploitasi atas pemelacuran orang lain, bahkan bila yang bersangkutan menyetujuinya.

Diadopsinya Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1979 sebagai salah satu dari empat instrumen HAM PBB yang utama, memberi unsur baru dalam wacana “trafficking”. Walaupun CEDAW tidak memberikan definisi mengenai “trafficking”, namun Komite yang dibentuk berdasarkan pakta ini mengehendaki pemerintah agar memberikan penjelasan menyangkut masalah prostitusi dan “hak” kaum perempuan dalam konteks tersebut.

Elemen “hak” berhubungan dengan masalah “consent”, persetujuan yang diberikan secara sadar. (Dalam Fowler & Fowler (ed), The Concise Oxford Dictionary of Current English, Oxford University Press, 1964; consent diartikan sebagai voluntary agreement/ compliance/ permission).

Pendekatan terhadap prostitusi
Berhubungan dengan masalah “consent” dan mengingat bahwa hingga kinipun belum ada konvensi HAM yang memberikan definisi “trafficking” secara lebih memadai, maka perlu pula kiranya melihat bagaimana pendekatan resmi yang ada mengenai prostitusi.

GAATW (1997) mengidentifikasi empat pendekatan terhadap prostitusi yang diterapkan di seluruh dunia, yakni:
  1. Kriminalisasi. Dalam pendekatan ini, prostitusi dianggap sebagai tindak pidana dan dilarang oleh hukum. Beberapa negara mengkriminalisasikan semua pihak yang terlibat dalam prostitusi, baik penjajanya, pembelinya maupun pihak ketiga yang memperoleh keuntungan dari transaksi seks.
  2. Dekriminalisasi. Transaksi seks tidak dianggap sebagai kejahatan. Sekalipun begitu, eksploitasi atau perilaku aniaya atas pekerja seks bisa jadi dilarang oleh hukum. Dekriminalisasi ini tidak secara otomatis akan membuat pemerintah melakukan regulasi atas prostitusi.
  3. Regulasi. Semua pekerja seks didaftar, biasanya melalui rumah bordil tempat mereka beroperasi. Pendaftaran ini biasanya berguna untuk mengontrol pemeriksaan kesehatan para pekerja seks. Pekerja seks yang tidak terdaftar diancam dengan hukuman dan karenanya mereka rawan eksploitasi.
  4. Legalisasi. Hukum perburuhan diberlakukan bagi pekerja seks dan penghasilan mereka dikenai pajak.
Perkembangan definisi “trafficking”
Dewasa ini, kata “trafficking” didefinisikan secara bervariasi oleh badan-badan internasional dan nasional, baik badan antar-pemerintah maupun non-pemerintah, dalam Human Rights Workshop yang diselenggarakan oleh GAATW pada bulan Juni 1996, para peserta mencoba mengidentifikasi beberapa aspek dalam “trafficking”. Ada tiga elemen yang didiskusikan, sebagai berikut : 1. menyangkut “consent”. Pertanyaan pokoknya ialah apakah keberadaan atau ketiadaan consent misalnya akibat penipuan, paksaan, ancaman, ketidaan informasi, ketiadaan kapasitas legal untuk bisa memberikan persetujuan—perlu diperhitungkan bagi terjadinya trafficking, 2. menyangkut tujuan migrasi. Pertanyaannya ialah apakah hanya migrasi untuk prostitusi yang bisa diklasifikan sebagai trafficking, atau apakah termasuk juga jenis kerja eksploitatif lainnya, 3. menyangkut perlu tidaknya garis perbatasan dilewati. Apakah definisi trafficking hanya diberlakukan khusus bagi kasus penyeberangan perbatasan. Secara umum, disepakati bahwa “consent” perlu menjadi elemen kunci yang harus diperhitungkan bagi terjadinya trafficking; bahwa trafficking tidak selalu untuk prostitusi; dan bahwa perbatasan internasional tidak perlu dilewati.

Jika elemen “consent” diperhitungkan, maka sebagai konsekuensinya, berbagai situasi “trafficking” yang disetujui oleh “korban” harus dikecualikan. Implikasinya, tidak semua pekerja migran bisa dikualifikasikan sebagai korban trafficking, terutama mereka yang tidak menjadi korban penipuan, paksaan, ancaman, atau kekurangan informasi atas situasi pekerjaan yang hendak mereka jalani. Begitu pula, pekerja seks yang memang secara sadar memilih prostitusi sebagai profesi tidak bisa dikualifikasikan kedalam kategori trafficking.

Menyangkut tidak perlunya garis perbatasan dilewati, beberapa argumen menyatakan bahwa trafficking pada dasarnya sudah terjadi jika transportasi dimaksudkan oleh trafficker untuk tujuan mengeksploitir tenaga kerja (atau jasa) dari mereka yang diperdagangkan. Disinilah letak perbedaan antara “trafficking” dengan “smuggling” (penyelundupan). Dalam kasus “smuggling”, harus terkandung unsur ilegalitas transportasi dan harus melewati tapal batas negara, sementara mereka yang menyelundupkan manusia pada kenyataannya tidak mengambil keuntungan dari eksploitasi tenaga kerja setelah mereka berhasil diselundupkan.

Isu menyangkut “consent” dan konsep tentang hak anak
Konvensi Hak Anak (1989) membawa perubahan revolusioner atas persepsi sosial dan yuridis terhadap anak. Konvensi ini memberikan pengakuan legal terhadap anak sebagai manusia, sekaligus merevitalisasi anggapan universal bahwa mereka tidak mempunyai kapasitas legal untuk bisa memberikan (atau menerima) informed consent.

Merupakan fakta dalam sistim hukum di seluruh dunia bahwa anak, karena umurnya bukan karena jenis kelaminnya, harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisik, mental, sosial dan moral bagi seseorang untuk bisa menentukan pilihannya. Begitulah, dikenal konsep mengenai batas usia legal bagi kemampuan untuk mempertanggung-jawabkan tindakan kriminal, batas usia legal untuk memilih atau dipilih (dalam pemilu), batas usia legal untuk seksual consent, batas usia legal untuk menandatangani kontrak, dst.

Sebagai konsekuensi dari konsep ini maka elemen “consent” yang bisa menjadi unsur pengecuali dalam definisi “trafficking”, sejauh menyangkut anak-anak, haruslah dihilangkan. Dengan kata lain, konsep “voluntary” tidak boleh dikenakan bagi semua varian yang terkandung dalam aspek tujuan pada definisi “trafficking”, apalagi jika “the worst forms of child labour” sebagaimana diatur dalam Konvensi ILO No. 182.

DAFTAR PUSTAKA
  • Ritzer,George, dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori sosiologi Modern. Prenada Media: Jakarta. 
  • Suyanto,Bagong. Tentang masalah sosial anak yang dilacurkan.
  • http://kompasindonesia/ artikel pembahasan tentang tarfficking.
  • http://jurnaluniversitaspendidikanindonesia//

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Dan Jenis Variasi Bahasa Menurut Ahli

Pengertian Dan Tujuan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Menurut Ahli

Pengertian Media Video Pembelajaran Menurut Para Ahli